Rabu, 17 Desember 2008

Rabu, 27 Februari 2008

RESUME PERTEMUAN PENGURUS YAYASAN KELOMPOK MASYARAKAT PEDULI DENGAN TEAM COMMUNITY AFFAIRS
CHEVRON GEOTHERMAL INDONESIA DARAJAT


A. DASAR :

- Surat elektronik yang disampaikan kepada Sdr. Iwan Azof (Community and Government Affairs Chevron Geothermal Indonesia Darajat) tertanggal 20 Pebruari 2008 dan mendapat jawaban untuk dapat bertemu melalui surat elektronik tertanggal 21 Pebruari 2008 dimana disepakati bertemu pada hari Selasa tanggal 26 Pebruari 2008 pukul 09.00 Wib.

B. MAKSUD DAN TUJUAN :

- Maksud
:
- Diskusi tentang pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) Chevron Geothermal Indonesia Darajat

- Tujuan
:
1. Mendapatkan gambaran/penjelasan tentang CD LBD
2. Tercapainya kesepahaman tentang CD LBD
3. Terjalinnya komunikasi yang sehat antara masyarakat dengan Perusahaan
4. Tercapainya misi masing-masing pihak, yayasan kemali dapat menjalankan fungsinya dalam menjembatani kepentingan masyarakat (bridging) dan team Community Affairs dapat menjalankan fungsinya sebagai corong perusahaan
C. PESERTA DISKUSI
- Yayasan/masyarakat




- Team Community Affairs

:




:

- 2 orang pengurus Yayasan Kemali
- 1 orang tokoh pemuda
- 2 orang pengurus organisasi guru
- 1 orang pengusaha local
- 1 orang anggota DPRD Kab. Garut
1. Sdr. Iwan Azof
2. Sdr. Poespo Oetomo
3. Hadi


D. WAKTU
:
Dimulai pukul 09.50 dan berakhir pukul 10.30 Wib (terjadi keterlambatan waktu dari jadwal yang telah disepakati, karena kesalahan dari pihak Yayasan/masyarakat)

E. ISI PEMBICARAAN ;
Sesuai dengan surat elektronik yang disampaikan oleh Ketua Yayasan Kemali Sdr. Yusep Ahmad Ichsan kepada Sdr. Iwan azof bahwa materi pertemuan adalah untuk berdiskusi tentang penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) yang diimplementasikan oleh Chevron Geothermal Indonesia Darajat melalui program Community Development and Local Business Development (CD and LBD). Maka sdr. Ketua Yayasan Kemali meminta kepada Sdr. Iwan Azof untuk menjelaskan tentang apa dan bagaimana CD LBD itu. Disamping itu, Ketua Yayasan kemali juga memaparkan kondisi ril di masyarakat tentang penyikapan mereka terhadap eksistensi perusahaan. Ternyata dapat disimpulkan bahwa “lisensi social” dari masyarakat masih sangat jauh dari harapan.

Jawaban Team Community Affairs Chevron :
CD LBD merupakan program Perusahaan yang dikonsentrasikan pada 3 bidang, yaitu pendidikan, kesehatan dan pengembangan ekonomi masyarakat local. Yang menjadi prioritas sasaran dari program ini adalah masyarakat di 3 Kecamatan, yaitu Kecamatan Pasirwangi (ring I) dan Kecamatan Samarang berikut Kecamatan Sukaresmi (ring II). Sementara untuk Kecamatan lainnya di Kabupaten Garut tidak menjadi prioritas program CD LBD tetapi tetap mendapat perhatian dari perusahaan.
Pada tahun 2006, Perusahaan melibatkan Pemerintah Daerah dalam hal ini BAPEDA di dalam penyusunan Program CD LBD, namun untuk tahun 2008 Perusahaan tidak lagi bekerjasama dengan BAPEDA. Adapun teknik yang digunakan untuk mencari objek program, perusahaan mempunyai strategi tersendiri yang tidak diketahui oleh masyarakat. Namun, meski begitu perusahaan pun menampung program-program yang diajukan oleh masyarakat yang dapat disalurkan atau disampaikan melalui Kepala Desa dan Camat di wilayahnya masing-masing.

Adapun besarnya dana yang disediakan, pihaknya tidak bersedia menyebutkan angka. Namun dapat diperkirakan mencapai milyaran rupiah. Saat ini, pihak perusahaan tengah memfokuskan pelaksanaan CD melalui pembinaan mental masyarakat, disamping konsentrasi pada bidang pendidikan dan kesehatan.

Mengenai ketidaktahuan pemerintah setempat (Camat) tentang pelaksanaan CD LBD, pihaknya mengakui bahwa masalah itu sangat mungkin terjadi karena adanya keterbatasan pihak perusahaan dalam melakukan komunikasi dan koordinasi dengan Camat.

Demikian inti dari pembicaraan yang dilakukan, mengingat keterbatasan waktu yang tersedia.









TANGGAPAN ATAS HASIL PERTEMUAN

Yayasan Kelompok Masyarakat Peduli (kemali) adalah sebuah lembaga yang berkonsentrasi pada program-program pengembangan masyarakat. Di dalam kiprahnya, selain melakukan aksi-aksi pemberdayaan masyarakat melalui program, juga dilakukan melalui diskusi dan pengkajian atas setiap permasalahan yang timbul di masyarakat.

Dalam konteks pelaksanaan Corporate Social Responsibility Chevron Geothermal Indonesia Darajat, kemali melihat ada sesuatu yang “salah” di dalam pelaksanaannya (baca; Tinjauan Kritis Terhadap Implementasi CD LBD Chevron Geothermal Indonesia Darajat; dapat diakses di http://forumpengembanganmasyarakat.wordpress.com dan CSR, Chevron dan Pemerintah Garut; dapat diakses di http://yayasankemali.blogspot.com). Memang, pada dasarnya CSR ini sangat tergantung pada selera pihak perusahaan, namun ketika di dalam pelaksanaannya telah “mengganggu” tatanan kehidupan sosial masyarakat, maka masalahnya sudah bukan lagi pada selera perusahaan atau selera pemerintah daerah. Akan tetapi sudah harus memperhatikan selera apa yang disukai oleh masyarakat yang “terusik” kehidupan sosialnya. Maka menjalin komunikasi yang sehat dan mencari kesepahaman mengenai CSR ini menjadi sesuatu yang urgen dan mutlak dilakukan oleh Pemerintah, Perusahaan dan masyarakat itu sendiri yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap kehidupan socialnya. Setidaknya ada beberapa alasan bagi kami untuk berperan aktif dalam mengkritisi pelaksanaan CSR ini, yaitu :

1. Adanya gejala perubahan social di masyarakat yang diakibatkan oleh adanya program CD LBD;
2. CSR (CD LBD) dilaksanakan sebagai salah satu bentuk tanggung jawab social perusahaan terhadap masyarakat local dimana dirinya melakukan operasi. Namun yang terjadi kemudian adalah kontra produktif dari tujuannya, alih-alih untuk mendapatkan lisensi social malah telah membuat permusuhan di antara masyarakat itu sendiri, apalagi terhadap perusahaan yang dianggap oleh masyarakat sebagai “biang kerok” dari permusuhan yang terjadi. CD LBD akhirnya menjadi semacam “racun” bagi masyarakat.
3. Tidak adanya transparansi dari pihak pemerintah daerah sebagai pihak eksternal yang dilibatkan oleh perusahaan di dalam perencanaan dan penyusunan program CD LBD.

Dari kenyataan-kenyataan tersebut diatas, maka kami mencoba untuk berbagi informasi dengan pihak pemerintah dan perusahaan serta mencoba untuk membangun kesepahaman mengenai CSR ini. Namun dari pertemuan awal kami, baik dengan pemerintah setempat (camat) maupun dengan pihak perusahaan (team Community Affairs) sangat mengecewakan sekali. Dalam tulisan ini perlu kami tegaskan, bahwa pada dasarnya kami tidak peduli berapa biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan, kepada siapa uang (program) itu diberikan, akan tetapi kami sangat peduli terhadap bagaimana metode dan mekanisme yang digunakan oleh perusahaan untuk menentukan sasaran programnya.
Kekecewaan kami terhadap Camat adalah ternyata tidak seperti yang kami duga, Camat lebih banyak tidak tahunya terhadap pelaksanaan CD LBD. Pedahal, menurut informasi yang kami dapatkan, pelaksanaan CD LBD diserahkan kepada Camat di wilayahnya masing-masing (untuk ring I dan ring II). Kemudian kekecawaan yang lebih dalam lagi kami dapatkan dari sikap penerimaan Perusahaan ketika datang berkunjung, kami menangkap dari dialog yang dilakukan, pihak Community affairs Chevron seolah-olah menempatkan/menganggap kami sami mawon (sama saja) dengan kelompok masyarakat lainnya yang datang untuk meminta, menghujat, mengata-ngatai, menghukumi dan sederet kebiasaan buruk yang kerap diperlihatkan oleh masyarakat kepada perusahaan. Dari pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh team Community Affairs jelas sekali terlihat bahwa mereka telah menerapkan formasi bertahan dalam bentuk argumentasi dan penyangkalan atas apa yang terjadi. Jadi, jika demikian adanya bagaimana bisa terbangun komunikasi yang sehat dan kesepahaman tentang CSR, jika sikap yang dikedepankan adalah sikap mencurigai? Toh kami datang jelas untuk berdiskusi tentang pelaksanaan CSR, dimana kami akan dan pada hakikatnya telah membantu pihak perusahan untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang posisi perusahaan. Baiknya kami kutip beberapa pernyataan anggota team Community Affairs yang cukup tendensius dan menyinggung perasaan kemanusiaan kami :
Sdr. Iwan Azof berkata : “… sekarang anda, besok datang lagi kelompok lain, sama bawa-bawa pejabat (kebetulan kami datang didampingi oleh seorang anggota DPRD Kabupaten Garut). Bahkan saya pernah ditelepon oleh salah seorang adik menteri untuk masalah ini…”, demikian pernyataan yang dilontarkan kepada kami. Jujur saja, kami merasa tersinggung dan terhinakan dengan pernyataan tersebut. Karena maksud kami meminta salah seorang anggota DPRD untuk mendampingi kami adalah supaya sang anggota Dewan .tahu tentang duduk perkara sebenarnya tentang pelaksanaan CD LBD. Bukan sebagai alat untuk menakut-nakuti, syok therapy atau unjuk relasi. Malah menurut pemikiran kami, apa hubungannya adik menteri dengan CD LBD? Sebegitu pentingkah CD LBD hingga seorang adik menteri harus mengubungi team Community Affairs? Lantas, kepentingannya apa? Justru kalau kami datang dengan seorang anggota DPRD itu sangat relevan.
Kemudian mari kita simak pernyataan sangkalan dari team community Affairs, ketika kami mengatakan bahwa masyarakat merasa bingung dan tidak tahu bagaimana prosedur mengajukan program pemberdayaan masyarakat kepada perusahaan. Karena, menurut pengakuan salah seorang tokoh masyarakat yang pernah datang ke kantor Chevron dan diterima oleh seorang karyawan Chevron di bagian CD LBD mengatakan bahwa untuk mengajukan program harus melalui Camat setempat. Kemudian apakah ada saluran lain selain melalui Camat? Sang karyawan mengatakan tidak ada. Artinya, masyarakat hanya dapat mengajukan program hanya melalui Camat dan tidak ada akses langsung ke perusahaan. Namun Team Community affairs Chevron dengan serta merta, refleks dan tergesa mengatakan bahwa orang tersebut (setelah terlebih dahulu menanyakan nama yang bersangkutan) bukan karyawan Chevron. Kami tercengang, merasa lucu dengan sikap ambivalen perusahaan. Dimana sebelumnya mengatakan bahwa dengan kehadiran Chevron di sini telah merekrut 500 orang tenaga kerja, yang seolah-olah ingin menegaskan kepada kami bahwa betapa telah berjasanya perusahaan terhadap masyarakat local. Tapi di sisi lain, ketika ada masalah dengan karyawannya justru membantah dengan mengatakan bahwa itu bukan karyawannya. Bagi masyarakat awan, seluruh orang yang bekerja di areal tersebut adalah karyawan Chevron, mereka tidak tahu apakah itu karyawan asli Chevron atau hanya karyawan yang diperbantukan melalui perusahaan penyedia tenaga kerja. Dan memang sangat sulit untuk menentukan apakah orang ini karyawan Chevron asli atau bukan. Sebagai bukti, ketika kami hendak menghadap Camat Samarang kami harus mengisi buku tamu dan selintas melihat ada nama salah seorang karyawan salah satu perusahaan penyedia tenaga kerja dan bekerja untuk Chevron mengisi kolom pekerjaan pada buku tamu tersebut sebagai karyawan Chevron.
Meskipun demikian, syukurlah kami beserta rekan-rekan yang lain dapat menahan diri dan berupaya sekuat tenaga untuk tetap bersikap bijak. Karena memang kami datang bukan untuk bersitegang, kami datang dengan itikad baik untuk berdiskusi, berbagi informasi, mencari kesepahaman yang didasari oleh tanggung jawab moral terhadap kondisi social ekonomi di wilayah kami. Sebagai masyarakat local, (yang terlanjur di cap oleh pihak perusahaan sebagai pemeras, penghujat pendemo; baca : Chevron Ubah Pendekatan; dapat diakses melalui http://PENALAHATI.WordPress.com) kami mencoba untuk tampil dengan kemasan yang lebih baik, mengedepankan nilai-nilai intelektualitas yang bersandar pada argument-argumen ilmiah. Memang susah untuk sedikit menjadi agak “pintar”, dan jika dihitung pengorbanan yang dilakukan berapa banyak materi yang dikeluarkan untuk mencari sumber-sumber bacaan tentang CSR ini. Betapa kami harus tidak tidur malam dan semalam suntuk berada di warnet (warung internet) mencari literature tentang CSR, hanya untuk meng-efesienkan pengeluaran karena mulai tengah malam tariff warnet sangat murah.
Semoga kesan pada pertemuan awal ini, dapat menjadi cambuk bagi kami untuk terus dan terus memperjuangkan pelaksanaan CSR yang lebih baik. Semoga, kesalahpahaman pada pertemuan awal ini dapat berbuah kesepahaman di akhir kemudian.
Semoga.
Garut, 26 Pebruari 2008
Yayasan Kelompok Masyarakat Peduli

Resume berikut tanggapan atas pertemuan ini disampaikan kepada :
1. Bupati Garut
2. Ketua DPRD Kab. Garut
3. Camat Samarang
4. Team Community Affairs Chevron Geothermal Indonesia
5. Sdr. Jalal (melalui w.w.w.CSRIndonesia.com/Jalal@yahoo.com)
6. Team Coaching PENALAHATI (melalui
http://PENALAHATI.Wordpress.com)
7. Sdr. Mas Ahmad Daniri (melalui
http://w.w.w.madani-ri.com)
8. Sdr. Yusdiasurya (melalui
http://forumpengembanganmasyarakat.wordpress.com/ Yusdi momon @gmail.com)

Sabtu, 02 Februari 2008

Bahan Diskusi

TINJAUAN KRITIS TERHADAP

IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

PT. CHEVRON GEOTHERMAL INDONESIA


Oleh : Yusep Ahmad Ichsan *

I. LATAR BELAKANG

Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan terhadap komunitas lokal dimana perusahaan tersebut beroperasi dipandang sebagai sesuatu yang wajib dilaksanakan. Meski tidak ada batasan atau definisi yang jelas mengenai CSR ini serta bersifat non hukum, namun setidaknya CSR ini dapat diartikan sebagai tindakan tanggung jawab sosial corporate yang melebihi batasan perundang-undangan sehingga terjadi pengembangan komunitas secara berkelanjutan (Chambers et.al. (2003 : 1) dalam Yosal). Dalam konteks ini, Corporate Social Responsibility Chevron Geothermal Indonesia (CGI) diimplementasikan melalui program-program Community Development and Local Business Development (CD LBD). Penulis meng-interpretasikan CSR ini sebagai suatu kegiatan harmonisasi hubungan antara corporate dengan komunitas lokal. Melalui CSR ini corporate berharap atau diharapkan menjadi bagian integral dari komunitas dimana dirinya beroperasi. Sebaliknya, komunitas lokal pun seyogianya dapat menerima corporate sebagai bagian dari kehidupan sosialnya. Sehingga diharapkan tidak ada lagi istilah “ tamu “ atau “ tuan rumah “ tetapi kedua belah pihak berada dalam posisi yang setara, terjadi simbiosis mutualistik; dimana komunitas dapat merasakan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kehadiran corporate dan corporate pun dapat beroperasi secara efektif dengan adanya “lisensi sosial” dari komunitas lokal.

Namun pada kenyataannya, kondisi tersebut masih jauh dari harapan semua pihak karena terbentur dengan berbagai persoalan. Oleh komunitas lokal, CGI masih dianggap sebagai “ tamu “ yang dengan semena-mena mengeduk kekayaannya dan membiarkan tuan rumah menjadi penonton dalam himpitan ekonomi yang semakin sulit. Di pihak lain, CGI merasa telah berbuat banyak melakukan tanggung jawab sosialnya dengan menyalurkan dana yang sangat besar. Dalam kondisi seperti ini, jalinan komunikasi menjadi mandeg, yang ada hanyalah negosiasi sepihak dimana “ tuan rumah “ lebih dominan dan mengarah kepada tindakan “memaksa” atau lebih tepatnya mem-feita compli corporate untuk menuruti kemauannya. Situasi dan kondisi seperti itu tidak terlepas dari peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerintah daerah. Dimana pemerintah daerah yang seharusnya mensosialisasikan akan pentingnya menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi asing justru bertindak propokatif, akibat dari ketidak puasan yang berlebihan atas permasalahan bagi hasil yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada, lebih memposisikan dirinya sebagai judgement dan lebih mirip bila dikatakan sebagai sekumpulan orang yang latah menghujat tanpa didasari oleh argumentasi yang rasional.

II. MASALAH-MASALAH

Tensi kemandegan komunikasi antara corporate dengan komunitas semakin meninggi tatkala pemerintah daerah mulai ikut menggugat eksistensi CGI di wilayahnya. Dengan dalih otonomi daerah, pemerintah daerah bahkan bersikap frontal dan kasar pedahal justru dengan demikian sama artinya dengan memperlihatkan ketidakmengertiannya dalam menterjemahkan otonomi daerah dan Undang-Undang No. 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi. Seharusnya sikap bijak yang harus diperlihatkan oleh pemerintah daerah adalah mengakui dengan legawa bahwasannya masalah bagi hasil adalah masalah intern antara pusat dan daerah.

Masalah yang akan diangkat oleh penulis di sini dimaknai sebagai masalah “intern” yang terjadi di komunitas, pemerintah dan para pihak yang berkepentingan (LSM), bukan pada sisi teori implementasi CSR yang dirancang oleh team Community and government affairs Chevron Geothermal Indonesia. Namun demikian, ada catatan penting yang perlu mendapat perhatian serius yaitu dalam beberapa kasus corporate telah berbuat “blunder”.

1. Komunitas (masyarakat)

Dalam hal pendefinisian komunitas lokal, penulis lebih menyukai definisi yang menyatakan bahwa ; masyarakat lokal adalah masyarakat dimana sebuah corporate melakukan operasinya, dengan pembatasan lingkup lokal didasarkan kepada tingkat interaksi, dampak sosial dan lingkungan secara langsung maupun tidak langsung. Atau lebih jelasnya lagi, masyarakat lokal bagi CGI dimata penulis adalah :

  1. Masyarakat Kecamatan Pasirwangi
  2. Masyarakat Kecamatan Samarang
  3. Masyarakat Kecamatan Sukaresmi

Atau kalau mungkin ditambahkan adalah, masyarakat Kecamatan Bayongbong dan masyarakat Kecamatan Tarogong. Dalam tulisan ini, penulis tidak akan memaparkan keadaan masyarakat di tiga Kecamatan tersebut secara detail; sosio ekonomi,sosio politik dan sosio budaya, religiusitas dan sebagainya karena penulis yakin team Community and government affairs CGI telah memiliki base data yang lebih daripada lengkap. Namun, sebagai “orang dalam” penulis mencoba menyampaikan temuan-temuan terbaru tentang gejala perubahan sikap dan prilaku di tiga Kecamatan tersebut.

1.1 Masyarakat Pasirwangi

Masyarakat di Kecamatan Pasirwangi adalah masyarakat yang paling merasakan dampak dari keberadaan CGI, baik itu dampak positif maupun negatif. Dan apabila diurut lebih detail, maka masyarakat Desa Karyamekar memegang peranan yang sangat urgen dalam kaitannya dengan pelaksanaan CSR. Sepanjang pengetahuan penulis, masyarakat di Desa ini belum dapat beradaptasi secara baik dengan perubahan yang terjadi – adaptasi dari daerah pedesaan menuju daerah industri – dimana ada sebagian masyarakat yang menyisakan “dendam” terhadap corporate, yaitu masyarakat pemilik lahan yang terkena pembebasan pada saat project ini dibuka. Sebenarnya “blunder” telah dilakukan oleh corporate sejak project ini mulai dibuka, contoh paling sederhana dari kesalahan yang dibuat adalah; adanya ganti rugi yang berlebihan terhadap bangunan, pohon dan hewan pada kegiatan project. Tak heran jika masyarakat di Desa Karya mekar sampai saat ini adalah masyarakat yang paling sering melakukan aksi demonstrasi, dengan tuntutan-tuntutan yang irasional. Justru dalam keadaan seperti ini, kesalahan corporate terus berulang dimana setiap tuntutan dari masyarakat selalu dipenuhi, sehingga membentuk kepribadian dan sikap yang negatif. Dan memupuk opini atau anggapan bahwa jika menginginkan sesuatu dari corporate maka lakukanlah demonstrasi niscaya semua keinginan tersebut akan dikabulkan. Disamping itu, adanya kesan atau anggapan di masyarakat bahwa corporate telah memberikan “hak-hak istimewa” (privilege) kepada tokoh-tokoh masyarakat tertentu di wilayah tersebut menambah sikap kecemburuan dari kelompok masyarakat lainnya. Maka tidaklah heran ketika sekarang ini aksi demonstrasi terus menunjukan peningkatan dan dilakukan hampir merata oleh kelompok-kelompok masyarakat di desa lainnya. Setidaknya ada 3 alasan atau penyebab terjadinya demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat, yaitu 1. lapangan pekerjaan, 2. Masalah pengairan dan kerusakan hutan dan 3. kecemburuan sosial. ‘tantangan” oleh kelompok masyarakat di kecamatan lainnya. Maka peluang terjadinya konflik horizontal semakin hari semakin terbuka lebar dan apabila hal ini sampai terjadi maka “kekalahan telak” bagi corporate niscaya terjadi. Ujung-ujungnya, corporate akan dijadikan bulan-bulanan berbagai pihak; pemerintah daerah serta pihak-pihak berkepentingan lainnya. Ke 3 isue sentral tersebut masih sangat efektif digunakan oleh pihak ke-tiga (provokator) untuk menyampaikan “pesan-pesannya” kepada pihak corporate, sementara di sisi lain masyarakat tetap pada posisi semula tanpa ada perubahan positif yang signifikan dari sisi derajat hidup. Yang patut diwaspadai dari kaca mata penulis adalah ; sikap superioritas dan hegemoni masyarakat di Kecamatan Pasirwangi atas claim atau perasaan paling memiliki terhadap keberadaan corporate ditanggapi sebagai suatu

1.2 Masyarakat Kecamatan Samarang

Dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang cenderung lebih baik, masyarakat di kecamatan Samarang relatif lebih kooperatif bila dibandingkan dengan masyarakat Pasirwangi. Sementara ini, masyarakat di kecamatan Samarang bersikap wait and see terhadap perkembangan project (corporate). Sikap ini didasari oleh tingkat pengendalian diri yang baik, dan secara terorganisir menyusun kekuatan baik yang besifat pengerahan massa maupun yang bersifat argumentatif. Penulis tahu betul medan di kecamatan Samarang dan berani menyimpulkan situasi dan kondisi tersebut atas dasar banyaknya tokoh-tokoh masyarakat (baik formal maupun non formal) yang datang melakukan konsultasi dalam bentuk diskusi. Kekecewaan masyarakat di kecamatan Samarang terus terakumulasi seiring dengan semakin menguatnya anggapan bahwa corporate lebih memperhatikan masyarakat di pasirwangi. Situasi dan kondisi seperti ini seolah-olah menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak. Setidaknya ada 3 pihak yang akan menjadi sasaran dari ledakan tersebut, yaitu :

  1. Corporate; atas kebijakan pelaksanaan CDLBD-nya yang dianggap tidak fair dan tidak memenuhi unsur-unsur berkeadilan.
  2. masyarakat Pasirwangi, atas sikapnya yang arogan dan menafikan kelompok masyarakat lainnya. Ini akan menjadi masalah yang serius dimana kemungkinan terjadinya konflik horizontal sangat terbuka lebar. Kekecewaan dan kebencian masyarakat Samarang terhadap masyarakat pasirwangi dikarenakan masyarakat pasirwangi dianggap telah berbuat “curang” dalam mendapatkan fasilitas dan kemudahan mengakses dana CDLBD. Disamping itu, tokoh-tokoh masyarakat samarang telah pula mengidentifikasi beberapa tokoh masyarakat di Pasirwangi yang dianggap memiliki atau diberi “hak-hak istimewa “ oleh corporate.
  3. Pemerintah daerah; atas intervensinya terhadap kebijakan dalam menentukan penyaluran dana CDLBD. Dimana melalui campur tangan BAPEDA, dana CDLBD “tercecer” ke Kecamatan lain dan ada sebagian dana yang digunakan oleh pemerintah untuk “kepentingannya” semisal melalui pembangunan Gedung Bale Paminton yang bersifat komersil sementara hasilnya tidak dapat dinikmati oleh masyarakat yang justru seharusnya paling berhak atas dana tersebut.

Meski demikian, sekali lagi masyarakat di kecamatan Samarang adalah masyarakat yang kooperatif dan sangat mungkin untuk dibangun sebuah komukasi yang sehat dalam upaya harmonisasi hubungan masyarakat dengan corporate.

1.3 Masyarakat Sukaresmi

Secara sosial budaya, masyarakat di kecamatan Sukaresmi masih memegang identitasnya sebagai masyarakat pedesaan dan relatif belum terkontaminasi dengan berbagai issue dan pengaruh dari luar. Ketaatan masyarakat terhadap pemimpin agama (taqlied) masih sangat kuat. Situasi ini jelas sangat menguntungkan dimana apabila dijalin komunikasi yang baik dengan pemimpin-pemimpin agama maka potensi masalah cenderung tidak ada. Namun, berdasarkan diskusi yang dilakukan oleh penulis dengan tokoh sentral di wilayah ini, nampaknya beberapa pemimpin agama terus menerus mendapat desakan dari pihak-pihak tertentu untuk melakukan aksi-aksi yang berkaitan dengan keberadaan project.

2. Organisasi

Yang dimaksud dengan organisasi di sini adalah; organisasi masyarakat, (organisasi keagamaan, sosial dan organisasi kepemudaan) serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kiprah organisasi lokal seperti yang disebutkan di atas, sampai saat ini belum terlihat dan dirasakan oleh masyarakat maupun oleh corporate. Meski tercatat pernah terjadi pertemuan denga lembaga keagamaan (MUI Kecamatan Samarang) namun arah dan tujuan dari pertemuan tersebut tidak fokus sehingga tidak menghasilkan sesuatu yang berarti. Justru yang terlihat aktif dalam membangun komunikasi adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bermarkas di perkotaan serta kelompok-kelompok mahasiswa. Sayangnya, komunikasi yang berusaha dibangun oleh mereka bukan komunikasi yang konstruksi dan solutif, namun lebih tepat apabila disebut sebagai komunikasi sepihak dimana berisi hujatan dan tuntutan-tuntutan yang tidak mendasar. Hal ini cukup dimengerti, mengingat dasar pijakan berpikir mereka dilandasi oleh pola pikir emosional yang menakar unsur keadilan menurut pikirannya masing-masing. Mereka nampaknya menafikan atau mungkin tidak memahami kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dalam hal ekonomi dan politik, yang memang apabila dianalisis melalui pendekatan emosional sangat tidak menguntungkan bagi negara dan masyarakatnya. Wajar apabila sikap yang mengemuka dari kelompok ini adalah sikap kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah pusat. Alih-alih pemerintah dengan memohon-mohon kepada investor asing untuk mau menanamkan modalnya di Indonesia, ini malah dengan semangat patriotik berusaha untuk “mengusir” investor yang sudah beroperasi di negara ini.

3. Pemerintah Daerah

Dalam perspektif kepentingan ekonomi nasional, idealnya pemerintah daerah harus mampu menjabarkan dan meng-implementasikan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat. Namun pada kenyataanya, sikap dan kebijakan pemerintah daerah seringkali tidak sejalan bahkan kontradiktif. Contoh krusial dari pernyataan di atas adalah, adanya “gugatan” dari BUPATI Garut terhadap CGI tentang bagi hasil yang cenderung membabi buta. Disamping hal tersebut, pernyataan-pernyataan provokatif seringkali dilontarkan oleh para pejabat di lingkungan Pemkab Garut sepeti yang sering dilansir dalam media massa lokal. sikap ambivalen dan mau menang sendiri dari pemerintah daerah terlihat jelas atas intervensinya terhadap dana CDLBD namun di sisi lain sampai saat ini belum terlihat adanya itikad baik untuk mensosialisasikan bahwa project PLTP Darajat adalah sebuah project vital bagi republik ini kepada masyarakatnya.

4. Kesimpulan Masalah-Masalah

Dari analisis-analisis di atas, maka penulis menyimpulkan masalah yang terjadi adalah sebagai berikut :

  1. masih adanya istilah “tuan rumah” bagi masyarakat serta “tamu” bagi corporate telah menciptakan situasi dan kondisi dimana masyarakat sebagai “tuan rumah” merasa hanya menjadi penonton belaka atas eksploitasi sumber daya alam yang “dimilikinya” dan menganggap wajar dan harus memperlakukan corporate sebagai “sapi perahannya”.
  2. dari pernyataan pada point ke- satu, maka dapatlah kiranya disimpulkan bahwa proses adaptasi masyarakat dengan coporate dan corporate dengan masyarakat lokal mengalami (maaf!) kegagalan dan tidak adanya jalinan komunikasi yang solid sehingga sangat mudah terjadi ketegangan antara kedua belah pihak.
  3. pemerintah daerah tidak mampu memposisikan dirinya sebagai corong bagi masyarakat kepada perusahaan dan corong perusahaan bagi masyarakatnya. Uniknya, pemerintah daerah justru “mensejajarkan dirinya” dengan masyarakat melalui tuntutan-tuntutan yang bersifat materil.
  4. Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) CGI melalui CDLBD, tidak diartikan oleh masyarakat sebagai suatu upaya atau niat baik perusahaan terhadap masyarakat lokal untuk maju secara bersama-sama. Intervensi pemerintah daerah terhadap CDLBDCSR itu sendiri, dimana idealnya dana CDLBD harus menjadi semacam Value edit bagi peningkatan derajat hidup masyarakat namun justru dijadikan dana tambahan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan. telah mengaburkan konsep dan tujuan

III. SARAN UNTUK PEMECAHAN MASALAH

Penulis merasa tidak mempunyai kompetensi untuk memberikan saran atau usulan dalam menghadapi permasalahan yang ada secara ilmiah, namun setidaknya apa yang penulis dengar dan rasakan sebagai bagian dari komunitas lokal, setidaknya ada beberapa teori hasil observasi dan wawancara yang dapat dicoba untuk dilaksanakan, yaitu :

  1. Re-identifikasi dan inventarisasi tokoh masyarakat lokal; dari pengalaman penulis menjadi bagian dari team Community relations pada perusahaan sub contractor CGI dapat dikatakan bahwa selama ini corporate kurang tepat “memilih” tokoh-tokoh masyarakat di kecamatan Pasirwangi. Meng-identifikasi ulang tokoh masyarakat di Pasirwangi sangat penting dilakukan dan inventarisasi tokoh masyarakat di kecamatan Samarang serta Sukaresmi. Hal ini akan berguna sebagai langkah awal membangun komunikasi yang sehat dengan komunitas lokal.
  2. Mendirikan Lembaga “tink tank” corporate, yang dimaksud dengan lembaga tink tank disini adalah sebuah lembaga yang didirikan atau diciptakan oleh corporate sebagai lembaga penyerap informasi sekaligus sebagai lembaga pemecah masalah yang terjadi antara masyarakat dengan corporate. Secara teknis, lembaga ini tidak mesti masuk dalam struktur manajemen corporate (kalau memungkinkan lebih baik) namun cukup difasilitasi oleh corporate dan bersifat non profit. Adapun yang menjadi anggota dari lembaga ini adalah para tokoh masyarakat dari 3 Kecamatan yang dipilih secara selektif dan ketat. Dengan didirikannya lembaga ini, setidaknya ada beberapa manfaat yang dapat diraih oleh corporate, yaitu :

2.1 melalui lembaga ini superioritas masyarakat di kecamatan Pasirwangi sedikitnya akan teredam karena bagaimanapun juga disana ada wakil dari masyarakat lainnya, atau lebih tepatnya lagi sebagai balancing power. Hal ini cukup efektif berdasarkan pengalaman penulis ketika menjadi team comunity relation PT. Thiess dimana sering terlibat dalam penyelesaian masalah dengan masyarakat di Kecamatan Pasirwangi. Penulis sering memberikan masukan kepada masyarakat di Pasirwangi tentang dampak dari tuntutannya terhadap masyarakat di kecamatan lainnya.

2.2 Campur tangan atau intervensi dari pihak luar (provokator) dapat dengan segera dideteksi dan dinetralisir.

2.3 Lembaga ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur atas sikap masyarakat terhadap corporate, dimana apabila lembaga ini dapat diterima oleh masyarakat maka dapat dipastikan “lisensi sosial” akan diraih oleh corporate.

  1. Membangun Komunikasi; membangun komunikasi yang sehat dan solid mutlak diperlukan. Melalui komunikasi yang baik dengan tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki visi dan misi yang sepaham dan diarahkan kepada pembangunan citra corporate akan semakin memantapkan upaya harmonisasi hubungan corporate dengan komunitas lokal.
  2. Pengembangan konsep dan strategy CSR (CDLBD); konsep dan strategy CDLBD seyogianya terus dikembangkan sampai ditemukan formulasi yang tepat sesuai dengan maksud dan tujuan CSR itu sendiri. Satu hal yang perlu dicermati adalah, kebijakan pelaksanaan CSR tersebut hendaknya tetap menjadi “hak prerogatif” manajemen corporate dan tidak mengikuti intervensi dari pihak-pihak luar termasuk pemerintah daerah.

Demikian analisis-analisis sederhana tentang situasi dan kondisi masyarakat lokal serta tinjauan kritis mengenai implementasi Corporate Social Responsibility CGI. Meski dengan berbagai keterbatasan pemikiran, namun penulis berharap sumbangan pemikiran ini dapat memberikan manfaat bagi upaya harmonisasi hubungan corporate dengan komunitas lokal.

Garut, 26 Pebruary 2007

Riwayat Aktifitas Penulis :

  1. Mantan Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kec. Samarang
  2. mantan Ketua Ikatan Remaja Masjid Kecamatan Samarang
  3. Pengurus Pemuda Pelopor Kabupaten Garut
  4. Pengurus Cabang Pemuda Muslimin Indonesia Kabupaten Garut
  5. Sekretaris Kelompok Masyarakat Peduli (Kemali) Garut
  6. Anggota Forum Diskusi The Yamin Centre, Central Strategic for Community Development
  7. Peraih penghargaan Bupati Garut sebagai “Pemuda Pelopor Kabupaten Garut Tahun 2003”
  8. Pernah bekerja pada PT. Thiess Contractors Indonesia sebagai Community Relations officer

Laporan Monitoring dan Investigasi

LAPORAN TIM MONITORING DAN INVESTIGASI

PENYALURAN TUNJANGAN FUNGSIONAL

BAGI GURU HONORER NON PNS

DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN AGAMA KABUPATEN GARUT


I. LATAR BELAKANG

Tunjangan fungsional bagi para guru honorer non PNS yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2007 Pos anggaran Subsidi Kompensasi BBM bidang pendidikan dipandang perlu untuk dikawal sehingga sampai kepada penerima secara utuh tanpa ada potongan ataupun pungutan dari pihak manapun juga. Berdasarkan informasi awal yang kami kumpulkan, maka ditengarai akan banyak terjadi penyimpangan dengan berbagai macam modus operandi. Disamping itu, proses seleksi yang terkesan asal-asalan diperkirakan akan menimbulkan potensi kerugian negara dalam jumlah yang cukup besar.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Yayasan Kelompok Masyarakat Peduli (kemali) menyebarkan sebanyak 45 orang personil untuk melakukan monitoring dan investigasi dengan cakupan wilayah se-Kabupaten Garut untuk jenjang sekolah Raudhatul Athfal (RA) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI). Namun dalam prakteknya di lapangan, kami juga menemukan berbagai macam penyimpangan pada jenjang pendidikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA).

II. MAKSUD DAN TUJUAN

Maksud dari dilaksanakannya Monitoring dan Investigasi ini adalah sebagai berikut :

  1. sebagai salah satu bentuk partisipasi/peran serta masyarakat dalam upaya penyelenggaraan negara yang bersih dan jauh dari praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Adapun tujuan yang hendak dicapai adalah sebagai berikut :

  1. Dana tunjangan Fungsional bagi Guru Honorer non PNS di lingkungan Departemen Agama Kabupaten Garut dapat sampai kepada penerimanya tanpa ada potongan atau pungutan dalam bentuk apapun juga.
  2. Menutup ruang gerak, potensi dan kesempatan pihak-pihak tertentu (oknum-oknum pegawai maupun oknum-oknum pengurus lembaga profesi guru) untuk melakukan berbagai bentuk penyimpangan yang mengarah kepada tindak pidana korupsi.

III. DASAR HUKUM KEGIATAN

Dasar hukum kegiatan Monitoring dan Investigasi ini adalah sebagai berikut :

  1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 41 ayat 1 dan 2 huruf a, b, c, d, dan e tentang Peran Serta Masyarakat;
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bagian Ketiga Pasal 8 tentang Hak dan Kewajiban Masyarakat;
  3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
  4. Rapat Pengurus Yayasan Kelompok Masyarakat Peduli tanggal 25 Desember 2007 tentang Program Kerja Yayasan.

IV. METODE, PERSONIL, DAN JANGKA WAKTU KEGIATAN

A. Metode

Metode yang digunakan dalam kegiatan Monitoring dan Investigasi ini adalah wawancara dan peninjauan langsung ke sekolah-sekolah. Berikut ini tabel wawancara dan tinjauan sekolah :

No.

Objek investigasi

Alat yang digunakan

Jumlah Objek

(orang dan sekolah)

Wawancara

Tinjauan

1.

Guru


100 orang

2.

Kepala Sekolah


50 orang

3.

Koordinator


10 orang

4.

Staf MAPENDAIS


2 orang

5.

Kepala Kantor Departemen Agama Kab. Garut


1 orang

6.

RT dan RW


30 orang

7.

Masyarakat


75 orang

8.,

Sekolah


50 sekolah

B. Jumlah Personil

Jumlah personil yang diterjunkan sebanyak 45 orang dengan berbagai basic pendidikan, pengalaman dan latar belakang yang berbeda.

C. Jangka Waktu

Jangka waktu : 27 Desember 2007 – 18 Januari 2008

V. HASIL YANG DICAPAI DARI KEGIATAN

Kegiatan Monitoring dan Investigasi yang dilaksanakan menghasilkan beberapa temuan penting yang mengindikasikan penyelewengan dan mengarah kepada dugaan Tindak Pidana Korupsi. Berikut ini deskripsi dari kegiatan tersebut :

1. Hasil Wawancara Dengan Guru

  1. Dari 100 orang guru yang diwawancarai sebanyak 90 orang atau 90 % menyatakan tidak menerima buku rekening dan ATM (Anjungan Tunai Mandiri) dari Bank Mandiri. Adapun uang tunjangan fungsional diterima melalui Kepala Sekolah masing-masing. Dan hanya 10 orang guru yang menerima buku tabungan dan ATM serta mengambil uang tunjangan fungsional secara pribadi di bank yang telah ditunjuk.
  2. dari 100 orang guru yang diwawancarai, sebanyak 100 orang menyatakan dan mengakui adanya potongan/pungutan sebesar Rp. 400.000,- (empat ratus ribu rupiah) per guru. Sebanyak 90 guru telah memberikan uang tersebut dan sebanyak 10 orang guru tidak memberikan. Sebanyak 20 orang guru bersedia membuat surat pernyataan yang berkaitan dengan pemotongan/pungutan tersebut. Sementara sebanyak 80 orang guru tidak bersedia membuat surat pernyataan dengan alasan takut karena adanya intimidasi dari pihak-pihak tertentu.
  3. disamping itu, ditemukan pula pengakuan guru-guru yang menerima tunjangan fungsional dari Kepala Sekolah dengan jumlah antara Rp. 600.000,- (enam ratus ribu rupiah) sampai dengan 1.600.000,- (satu juta enam ratus ribu rupiah).
  4. Para guru menyatakan bahwa sesuai dengan keterangan yang disampaikan oleh Kepala Sekolah bahwa potongan uang tersebut diserahkan kepada Seksi MAPENDAIS Departemen Agama Kabupaten Garut.

2. Hasil Wawancara Dengan Kepala Sekolah

1. Bahwa kebijakan untuk tidak memberikan Buku Tabungan dan ATM kepada para guru berdasarkan arahan dari para pegawai (staf) Seksi MAPENDAIS melalui Koordinator IGRA dan KKM (Kelompok Kerja Madrasah).

2. Yang menyangkut dengan pemotongan/pungutan uang sejumlah Rp. 400.000,- (empat Ratus ribu rupiah) adalah berdasarkan arahan dan informasi dari para koordinator dan KKM, yang akan diserahkan kepada staf di Seksi MAPENDAIS Departemen Agama Kabupaten Garut. Sejumlah uang tersebut diserahkan kepada para koordinator dan KKM.

3. Pemberian uang tersebut dimaksudkan sebagai uang “ucapan Terima Kasih” kepada para staf di MAPENDAIS atas pengurusan administrasi tunjangan fungsional para guru.

3. Hasil Wawancara Dengan Koordinator

1. Bahwa para koordionator menerima instruksi dari Wakil Ketua IGRA untuk memungut uang sejumlah Rp. 400.000,- (empat Ratus Ribu Rupiah) dari masing-masing guru penerima tunjangan fungsional dalam sebuah rapat yang diselenggarakan oleh IGRA Kabupaten Garut bertempat di Masjid Departemen Agama Kabupaten Garut.

2. Bahwa di dalam rapat tersebut disampaikan pula oleh Sdr. Wakil Ketua IGRA pungutan/potongan uang sebesar Rp. 400.000,- (empat Ratus Ribu Rupiah) adalah jumlah yang sudah final, meskipun Sdr. Wakil Ketua IGRA telah berupaya sekuat tenaga melakukan penawaran sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) namun, tim DEPAG yang terdiri dari para staf Seksi MAPENDAIS tetap pada pendiriannya bahwa pungutan tersebut harus sebesar Rp. 400.000,- (empat ratus ribu rupiah).

3. Dari uang sejumlah Rp. 400.000,- (empat ratus ribu rupiah) tersebut pihak IGRA menerima jatah sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dan Seksi MAPENDAIS menerima sebesar Rp. 350.000,- (tiga ratus lima puluh ribu rupiah).

3. Hasil Wawancara Dengan Wakil Ketua IGRA (Sdr. Iwan Ridwan)

1. Bahwa dirinya membantah telah menginstruksikan kepada seluruh koordinator untuk melakukan pungutan/potongan tersebut, namun mengakui bahwa dirinya berinisiatif memberikan sejumlah uang (Rp. 400.000,-) kepada staf di MAPENDAIS sebagai ucapan terima kasih secara sukarela.

4. Hasil Wawancara Dengan Staf MAPENDAIS DEPAG Kab. Garut

1. Bahwa informasi yang beredar di sekolah-sekolah dan di para guru adalah issue belaka yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Namun dirinya tidak berani menjamin bahwa uang tunjangan fungsional tersebut dapat utuh diterima oleh para guru penerima.

5. Hasil Wawancara Dengan Kepala Departemen Agama Kab. Garut

1. Bahwa dirinya senantiasa memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap kinerja para stafnya dan selalu mewanti-wanti supaya tidak melakukan upaya-upaya melanggar hukum dan penyelewengan. Dirinya juga telah mengeluarkan surat edaran kepada seluruh Kepala Sekolah pada semua jenjang pendidikan bahwa uang tunjangan fungsional harus diterima oleh para guru secara utuh. Dan memberikan peringatan kepada siapa saja yang berupaya untuk melakukan pemotongan. Namun dirinya juga mengakui mendapat banyak pengaduan dari para guru serta pihak lainnya tentang adanya pungutan tersebut.

6. Hasil Wawancara Dengan RT dan RW

- Bahwa sebagai Ketua Rukun Tetangga dan Ketua Rukun Warga, dirinya mengakui mendengar tentang adanya pungutan sejumlah uang tunjangan fungsional tersebut serta ada beberapa sekolah yang sudah tidak melakukan aktifitas belajar mengajar namun para gurunya mendapat tunjangan fungsional.

7. Hasil Wawancara Dengan Masyarakat

- Bahwa mereka mengetahui dan mendengar adanya pungutan/pemotongan dana tunjangan fungsional para guru honorer non PNS yang cukup besar, berdasarkan informasi melalui sebuah acara interaktif di salah satu radio swasta di Kabupaten Garut serta mendengar keluhan dari para guru tentang potongan tersebut.

VI. KESIMPULAN

Dari hasil wawancara sebagaimana tersebut di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. telah terjadi penyelewengan yang dilakukan oleh para Kepala Sekolah, koordinator dan staf MAPENDAIS karena telah menguasai barang orang lain (bukan haknya) dalam bentuk Buku Tabungan dan ATM yang berisi sejumlah uang. Menurut hemat kami, salah satu tujuan dari pemberian tunjangan fungsional melalui teknis pembukaan rekening di bank atas nama guru penerima tunjangan adalah untuk menjamin bahwa uang tunjangan tersebut dapat sampai kepada yang bersangkutan tanpa adanya potongan ataupun pungutan. Namun apabila memang instruksi untuk tidak memberikan buku tabungan dan ATM kepada guru yang bersangkutan adalah instruksi resmi (sesuai juklak dan juknis) dari Departemen Agama Pusat, maka dapat kiranya diduga Departemen Agama Republik Indonesia telah melakukan kolusi dengan bank yang ditunjuk (Bank Mandiri). Dimana telah terjadi penghamburan biaya yang berpotensi merugikan Negara dengan pembukaan rekening atas nama guru, namun tidak efektif karena dalam prakteknya tetap dikuasai oleh Kepala Sekolah.

2. Telah terjadi penyelewengan yang dilakukan oleh Koordinator, Wakil Ketua IGRA dan Staf MAPENDAIS dalam kasus pemungutan sejumlah uang dari para guru penerima tunjangan fungsional. Menurut analisis kami, pernyataan para guru tentang adanya pungutan tersebut diperkuat dengan adanya pernyataan dari para koordinator yang mengaku telah diperintah oleh Sdr. Wakil Ketua IGRA Kabupaten Garut untuk melakukan pungutan kepada para guru, dengan maksud uang tersebut akan diserahkan kepada staf di MAPENDAIS DEPAG Kabupaten Garut sebagai ucapan terima kasih.

3. Bahwa berdasarkan data yang ada, jumlah guru RA penerima tunjangan fungsional di lingkungan Departemen Agama Kabupaten Garut adalah sebanyak 1.532 orang, yang apabila dipungut sejumlah uang sebesar Rp. 350.000,- sebagai ucapan terima kasih, maka Seksi MAPENDAIS akan menerima uang sebesar Rp. 536.200.000,- (lima ratus tiga puluh enam juta dua ratus ribu rupiah). Jumlah tersebut sangat besar apabila dikatakan sebagai “uang ucapan terima kasih”.

4. Adanya kelalaian pihak Seksi MAPENDAIS Departemen Agama Kabupaten Garut dalam hal pendataan sekolah/guru penerima tunjangan fungsional sehingga berpotensi menimbulkan kerugian Negara akibat banyaknya guru penerima tunjangan fungsional yang FIKTIF.

5. Adanya dugaan kolusi yang dilakukan oleh seksi MAPENDAIS dengan beberapa sekolah, dimana sekolah dengan jumlah murid sedikit tetapi guru penerima tunjangan fungsional pada sekolah tersebut sangat banyak (sebanyak 7 orang guru, sementara jumlah murid hanya 40 siswa). Disisi lain, banyak sekolah dengan jumlah murid banyak (diatas 60 siswa) akan tetapi jumlah guru penerima tunjangan hanya sebanyak 4 orang dari 8 orang yang diajukan.

6. Adanya itikad tidak baik dari staf seksi MAPENDAIS dengan tidak menyebarkan surat edaran Kepala Departemen Agama Kabupaten Garut tentang teknis pengambilan tunjangan fungsional para guru.

VII. SARAN, MASUKAN DAN SOLUSI ATAS PERMASALAHAN

  1. Adanya upaya penyelidikan lebih lanjut sebagai langkah pengembangan dari berbagai temuan dan alat bukti awal sehingga dapat ditemukan bukti-bukti yang menguatkan temuan awal yang mengarahkan kepada pelaku penyimpangan.
  2. Adanya tindakan nyata bagi para pelaku penyelewengan, baik oknum pegawai organik di lingkungan Departemen Agama Kabupaten Garut serta oknum pengurus Lembaga Profesi Guru di bawah naungan Departemen Agama Kabupaten Garut. Bentuk tindakan, dapat berupa tindakan disiplin secara kelembagaan dan pelaporan kepada aparat penyidik (Kejaksaan atau Kepolisian) apabila memenuhi unsur pembuktian telah terjadinya tindakan pidana korupsi.
  3. Adanya pendataan ulang terhadap para guru dan sekolah penerima tunjangan fungsional sehingga didapatkan data guru yang benar-benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat ditemukannya beberapa sekolah yang sudah tidak melakukan kegiatan belajar mengajar namun para gurunya tetap mendapatkan tunjangan fungsional.
  4. Departemen Agama Kabupaten Garut dalam hal ini Seksi MAPENDAIS segera mengeluarkan surat edaran kepada para Kepala Sekolah untuk memberikan buku tabungan dan ATM kepada para guru penerima tunjangan fungsional di sekolahnya masing-masing.
  5. Sebagai langkah nyata dan membuktikan adanya itikad baik dari pihak-pihak yang terlibat untuk segera mengembalikan uang yang telah dipungut. Hal ini dalam konteks hukum, dianggap sebagai sesuatu yang akan meringankan bagi pelaku dan bukan sebagai upaya melepaskan diri dari jeratan hukum.
  6. Kepala Departemen Agama Kabupaten Garut wajib melakukan rotasi /pergantian seluruh staf dan Kepala Seksi MAPENDAIS Departemen Agama kabupaten Garut sebagai langkah tindakan disiplin sekaligus antisipatif agar hal serupa tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
  7. Departemen Agama kabupaten Garut memberikan semacam “Reward” atau penghargaan kepada sekolah/guru/kepala sekolah dan masyarakat yang telah memberikan keterangan yang dianggap membantu pengungkapan rencana/tindakan penyelewengan yang terjadi. Serta memberikan semacam teguran/peringatan keras bagi para guru, Kepala sekolah, koordinator dan KKM serta aparat di lingkungan Departemen Agama kabupaten Garut apabila dianggap menghambat, menghalang-halangi dan memberikan keterangan tidak benar dalam proses monitoring dan investigasi pengungkapan kasus yang terjadi.

VIII. PENUTUP

Demikianlah Laporan Tim Monitoring dan Investigasi Tentang Penyaluran Tunjangan Fungsional Kepada Guru Honorer Non PNS di lingkungan Departemen Agama Kabupaten Garut. Kegiatan yang telah kami lakukan semoga dapat menjadi sebuah pelajaran sekaligus motivasi bagi semua pihak dalam menciptakan pemerintahan yang bersih, bebas dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Clean Government and Good Government). Perlu juga kami sampaikan bahwasannya kegiatan yang kami lakukan adalah salah satu bentuk peran serta atau partisipasi masyarakat yang sesuai dengan perundang-undangan, dimana masyarakat diberi hak untuk mencari, memperoleh dan melaporkan segala bentuk tindakan, baik yang mengarah ataupun telah terjadi tindak pidana korupsi.

Garut, 30 Januari 2008

Tim Monitoring dan Investigasi Kelompok Masyarakat Peduli (Kemali)

PERNYATAAN

“ Wallohi… (demi Allah…) : Bahwa sesuai dengan Agama yang saya yakini yakni Agama Islam dan sesuai dengan jabatan yang diamanatkan kepada saya selaku pendidik di lingkungan Departemen Agama Kabupaten Garut dengan ini menyatakan dengan sebenarnya-benarnya bahwasannya potongan/pungutan adalah benar terjadi pada diri saya dan saya mengetahui rencana tentang pemotongan/pungutan tersebut sebelum dana tunjangan fungsional tersebut dicairkan. Dengan ini juga saya menyatakan bahwa saya secara ikhlas dan ridho menerima potongan/pungutan tersebut sebagai ucapan terima kasih kepada para staf dan Kepala Seksi di Seksi MAPENDAIS Departemen Agama Kabupaten Garut.

Demikian keterangan ini saya berikan dan saya mengetahui serta menyadari segala akibat dan konsekuensi dari pernyataan ini baik secara hukum positif Negara Republik Indonesia dan Hukum Agama Islam tentang memberikan keterangan palsu/bohong.

Garut, Februari 2008

Yang Membuat Pernyataan

NO

NAMA

SEKOLAH

JABATAN

TANDA TANGAN







download file