Sabtu, 02 Februari 2008

Bahan Diskusi

TINJAUAN KRITIS TERHADAP

IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

PT. CHEVRON GEOTHERMAL INDONESIA


Oleh : Yusep Ahmad Ichsan *

I. LATAR BELAKANG

Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan terhadap komunitas lokal dimana perusahaan tersebut beroperasi dipandang sebagai sesuatu yang wajib dilaksanakan. Meski tidak ada batasan atau definisi yang jelas mengenai CSR ini serta bersifat non hukum, namun setidaknya CSR ini dapat diartikan sebagai tindakan tanggung jawab sosial corporate yang melebihi batasan perundang-undangan sehingga terjadi pengembangan komunitas secara berkelanjutan (Chambers et.al. (2003 : 1) dalam Yosal). Dalam konteks ini, Corporate Social Responsibility Chevron Geothermal Indonesia (CGI) diimplementasikan melalui program-program Community Development and Local Business Development (CD LBD). Penulis meng-interpretasikan CSR ini sebagai suatu kegiatan harmonisasi hubungan antara corporate dengan komunitas lokal. Melalui CSR ini corporate berharap atau diharapkan menjadi bagian integral dari komunitas dimana dirinya beroperasi. Sebaliknya, komunitas lokal pun seyogianya dapat menerima corporate sebagai bagian dari kehidupan sosialnya. Sehingga diharapkan tidak ada lagi istilah “ tamu “ atau “ tuan rumah “ tetapi kedua belah pihak berada dalam posisi yang setara, terjadi simbiosis mutualistik; dimana komunitas dapat merasakan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kehadiran corporate dan corporate pun dapat beroperasi secara efektif dengan adanya “lisensi sosial” dari komunitas lokal.

Namun pada kenyataannya, kondisi tersebut masih jauh dari harapan semua pihak karena terbentur dengan berbagai persoalan. Oleh komunitas lokal, CGI masih dianggap sebagai “ tamu “ yang dengan semena-mena mengeduk kekayaannya dan membiarkan tuan rumah menjadi penonton dalam himpitan ekonomi yang semakin sulit. Di pihak lain, CGI merasa telah berbuat banyak melakukan tanggung jawab sosialnya dengan menyalurkan dana yang sangat besar. Dalam kondisi seperti ini, jalinan komunikasi menjadi mandeg, yang ada hanyalah negosiasi sepihak dimana “ tuan rumah “ lebih dominan dan mengarah kepada tindakan “memaksa” atau lebih tepatnya mem-feita compli corporate untuk menuruti kemauannya. Situasi dan kondisi seperti itu tidak terlepas dari peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerintah daerah. Dimana pemerintah daerah yang seharusnya mensosialisasikan akan pentingnya menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi asing justru bertindak propokatif, akibat dari ketidak puasan yang berlebihan atas permasalahan bagi hasil yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada, lebih memposisikan dirinya sebagai judgement dan lebih mirip bila dikatakan sebagai sekumpulan orang yang latah menghujat tanpa didasari oleh argumentasi yang rasional.

II. MASALAH-MASALAH

Tensi kemandegan komunikasi antara corporate dengan komunitas semakin meninggi tatkala pemerintah daerah mulai ikut menggugat eksistensi CGI di wilayahnya. Dengan dalih otonomi daerah, pemerintah daerah bahkan bersikap frontal dan kasar pedahal justru dengan demikian sama artinya dengan memperlihatkan ketidakmengertiannya dalam menterjemahkan otonomi daerah dan Undang-Undang No. 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi. Seharusnya sikap bijak yang harus diperlihatkan oleh pemerintah daerah adalah mengakui dengan legawa bahwasannya masalah bagi hasil adalah masalah intern antara pusat dan daerah.

Masalah yang akan diangkat oleh penulis di sini dimaknai sebagai masalah “intern” yang terjadi di komunitas, pemerintah dan para pihak yang berkepentingan (LSM), bukan pada sisi teori implementasi CSR yang dirancang oleh team Community and government affairs Chevron Geothermal Indonesia. Namun demikian, ada catatan penting yang perlu mendapat perhatian serius yaitu dalam beberapa kasus corporate telah berbuat “blunder”.

1. Komunitas (masyarakat)

Dalam hal pendefinisian komunitas lokal, penulis lebih menyukai definisi yang menyatakan bahwa ; masyarakat lokal adalah masyarakat dimana sebuah corporate melakukan operasinya, dengan pembatasan lingkup lokal didasarkan kepada tingkat interaksi, dampak sosial dan lingkungan secara langsung maupun tidak langsung. Atau lebih jelasnya lagi, masyarakat lokal bagi CGI dimata penulis adalah :

  1. Masyarakat Kecamatan Pasirwangi
  2. Masyarakat Kecamatan Samarang
  3. Masyarakat Kecamatan Sukaresmi

Atau kalau mungkin ditambahkan adalah, masyarakat Kecamatan Bayongbong dan masyarakat Kecamatan Tarogong. Dalam tulisan ini, penulis tidak akan memaparkan keadaan masyarakat di tiga Kecamatan tersebut secara detail; sosio ekonomi,sosio politik dan sosio budaya, religiusitas dan sebagainya karena penulis yakin team Community and government affairs CGI telah memiliki base data yang lebih daripada lengkap. Namun, sebagai “orang dalam” penulis mencoba menyampaikan temuan-temuan terbaru tentang gejala perubahan sikap dan prilaku di tiga Kecamatan tersebut.

1.1 Masyarakat Pasirwangi

Masyarakat di Kecamatan Pasirwangi adalah masyarakat yang paling merasakan dampak dari keberadaan CGI, baik itu dampak positif maupun negatif. Dan apabila diurut lebih detail, maka masyarakat Desa Karyamekar memegang peranan yang sangat urgen dalam kaitannya dengan pelaksanaan CSR. Sepanjang pengetahuan penulis, masyarakat di Desa ini belum dapat beradaptasi secara baik dengan perubahan yang terjadi – adaptasi dari daerah pedesaan menuju daerah industri – dimana ada sebagian masyarakat yang menyisakan “dendam” terhadap corporate, yaitu masyarakat pemilik lahan yang terkena pembebasan pada saat project ini dibuka. Sebenarnya “blunder” telah dilakukan oleh corporate sejak project ini mulai dibuka, contoh paling sederhana dari kesalahan yang dibuat adalah; adanya ganti rugi yang berlebihan terhadap bangunan, pohon dan hewan pada kegiatan project. Tak heran jika masyarakat di Desa Karya mekar sampai saat ini adalah masyarakat yang paling sering melakukan aksi demonstrasi, dengan tuntutan-tuntutan yang irasional. Justru dalam keadaan seperti ini, kesalahan corporate terus berulang dimana setiap tuntutan dari masyarakat selalu dipenuhi, sehingga membentuk kepribadian dan sikap yang negatif. Dan memupuk opini atau anggapan bahwa jika menginginkan sesuatu dari corporate maka lakukanlah demonstrasi niscaya semua keinginan tersebut akan dikabulkan. Disamping itu, adanya kesan atau anggapan di masyarakat bahwa corporate telah memberikan “hak-hak istimewa” (privilege) kepada tokoh-tokoh masyarakat tertentu di wilayah tersebut menambah sikap kecemburuan dari kelompok masyarakat lainnya. Maka tidaklah heran ketika sekarang ini aksi demonstrasi terus menunjukan peningkatan dan dilakukan hampir merata oleh kelompok-kelompok masyarakat di desa lainnya. Setidaknya ada 3 alasan atau penyebab terjadinya demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat, yaitu 1. lapangan pekerjaan, 2. Masalah pengairan dan kerusakan hutan dan 3. kecemburuan sosial. ‘tantangan” oleh kelompok masyarakat di kecamatan lainnya. Maka peluang terjadinya konflik horizontal semakin hari semakin terbuka lebar dan apabila hal ini sampai terjadi maka “kekalahan telak” bagi corporate niscaya terjadi. Ujung-ujungnya, corporate akan dijadikan bulan-bulanan berbagai pihak; pemerintah daerah serta pihak-pihak berkepentingan lainnya. Ke 3 isue sentral tersebut masih sangat efektif digunakan oleh pihak ke-tiga (provokator) untuk menyampaikan “pesan-pesannya” kepada pihak corporate, sementara di sisi lain masyarakat tetap pada posisi semula tanpa ada perubahan positif yang signifikan dari sisi derajat hidup. Yang patut diwaspadai dari kaca mata penulis adalah ; sikap superioritas dan hegemoni masyarakat di Kecamatan Pasirwangi atas claim atau perasaan paling memiliki terhadap keberadaan corporate ditanggapi sebagai suatu

1.2 Masyarakat Kecamatan Samarang

Dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang cenderung lebih baik, masyarakat di kecamatan Samarang relatif lebih kooperatif bila dibandingkan dengan masyarakat Pasirwangi. Sementara ini, masyarakat di kecamatan Samarang bersikap wait and see terhadap perkembangan project (corporate). Sikap ini didasari oleh tingkat pengendalian diri yang baik, dan secara terorganisir menyusun kekuatan baik yang besifat pengerahan massa maupun yang bersifat argumentatif. Penulis tahu betul medan di kecamatan Samarang dan berani menyimpulkan situasi dan kondisi tersebut atas dasar banyaknya tokoh-tokoh masyarakat (baik formal maupun non formal) yang datang melakukan konsultasi dalam bentuk diskusi. Kekecewaan masyarakat di kecamatan Samarang terus terakumulasi seiring dengan semakin menguatnya anggapan bahwa corporate lebih memperhatikan masyarakat di pasirwangi. Situasi dan kondisi seperti ini seolah-olah menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak. Setidaknya ada 3 pihak yang akan menjadi sasaran dari ledakan tersebut, yaitu :

  1. Corporate; atas kebijakan pelaksanaan CDLBD-nya yang dianggap tidak fair dan tidak memenuhi unsur-unsur berkeadilan.
  2. masyarakat Pasirwangi, atas sikapnya yang arogan dan menafikan kelompok masyarakat lainnya. Ini akan menjadi masalah yang serius dimana kemungkinan terjadinya konflik horizontal sangat terbuka lebar. Kekecewaan dan kebencian masyarakat Samarang terhadap masyarakat pasirwangi dikarenakan masyarakat pasirwangi dianggap telah berbuat “curang” dalam mendapatkan fasilitas dan kemudahan mengakses dana CDLBD. Disamping itu, tokoh-tokoh masyarakat samarang telah pula mengidentifikasi beberapa tokoh masyarakat di Pasirwangi yang dianggap memiliki atau diberi “hak-hak istimewa “ oleh corporate.
  3. Pemerintah daerah; atas intervensinya terhadap kebijakan dalam menentukan penyaluran dana CDLBD. Dimana melalui campur tangan BAPEDA, dana CDLBD “tercecer” ke Kecamatan lain dan ada sebagian dana yang digunakan oleh pemerintah untuk “kepentingannya” semisal melalui pembangunan Gedung Bale Paminton yang bersifat komersil sementara hasilnya tidak dapat dinikmati oleh masyarakat yang justru seharusnya paling berhak atas dana tersebut.

Meski demikian, sekali lagi masyarakat di kecamatan Samarang adalah masyarakat yang kooperatif dan sangat mungkin untuk dibangun sebuah komukasi yang sehat dalam upaya harmonisasi hubungan masyarakat dengan corporate.

1.3 Masyarakat Sukaresmi

Secara sosial budaya, masyarakat di kecamatan Sukaresmi masih memegang identitasnya sebagai masyarakat pedesaan dan relatif belum terkontaminasi dengan berbagai issue dan pengaruh dari luar. Ketaatan masyarakat terhadap pemimpin agama (taqlied) masih sangat kuat. Situasi ini jelas sangat menguntungkan dimana apabila dijalin komunikasi yang baik dengan pemimpin-pemimpin agama maka potensi masalah cenderung tidak ada. Namun, berdasarkan diskusi yang dilakukan oleh penulis dengan tokoh sentral di wilayah ini, nampaknya beberapa pemimpin agama terus menerus mendapat desakan dari pihak-pihak tertentu untuk melakukan aksi-aksi yang berkaitan dengan keberadaan project.

2. Organisasi

Yang dimaksud dengan organisasi di sini adalah; organisasi masyarakat, (organisasi keagamaan, sosial dan organisasi kepemudaan) serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kiprah organisasi lokal seperti yang disebutkan di atas, sampai saat ini belum terlihat dan dirasakan oleh masyarakat maupun oleh corporate. Meski tercatat pernah terjadi pertemuan denga lembaga keagamaan (MUI Kecamatan Samarang) namun arah dan tujuan dari pertemuan tersebut tidak fokus sehingga tidak menghasilkan sesuatu yang berarti. Justru yang terlihat aktif dalam membangun komunikasi adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bermarkas di perkotaan serta kelompok-kelompok mahasiswa. Sayangnya, komunikasi yang berusaha dibangun oleh mereka bukan komunikasi yang konstruksi dan solutif, namun lebih tepat apabila disebut sebagai komunikasi sepihak dimana berisi hujatan dan tuntutan-tuntutan yang tidak mendasar. Hal ini cukup dimengerti, mengingat dasar pijakan berpikir mereka dilandasi oleh pola pikir emosional yang menakar unsur keadilan menurut pikirannya masing-masing. Mereka nampaknya menafikan atau mungkin tidak memahami kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dalam hal ekonomi dan politik, yang memang apabila dianalisis melalui pendekatan emosional sangat tidak menguntungkan bagi negara dan masyarakatnya. Wajar apabila sikap yang mengemuka dari kelompok ini adalah sikap kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah pusat. Alih-alih pemerintah dengan memohon-mohon kepada investor asing untuk mau menanamkan modalnya di Indonesia, ini malah dengan semangat patriotik berusaha untuk “mengusir” investor yang sudah beroperasi di negara ini.

3. Pemerintah Daerah

Dalam perspektif kepentingan ekonomi nasional, idealnya pemerintah daerah harus mampu menjabarkan dan meng-implementasikan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat. Namun pada kenyataanya, sikap dan kebijakan pemerintah daerah seringkali tidak sejalan bahkan kontradiktif. Contoh krusial dari pernyataan di atas adalah, adanya “gugatan” dari BUPATI Garut terhadap CGI tentang bagi hasil yang cenderung membabi buta. Disamping hal tersebut, pernyataan-pernyataan provokatif seringkali dilontarkan oleh para pejabat di lingkungan Pemkab Garut sepeti yang sering dilansir dalam media massa lokal. sikap ambivalen dan mau menang sendiri dari pemerintah daerah terlihat jelas atas intervensinya terhadap dana CDLBD namun di sisi lain sampai saat ini belum terlihat adanya itikad baik untuk mensosialisasikan bahwa project PLTP Darajat adalah sebuah project vital bagi republik ini kepada masyarakatnya.

4. Kesimpulan Masalah-Masalah

Dari analisis-analisis di atas, maka penulis menyimpulkan masalah yang terjadi adalah sebagai berikut :

  1. masih adanya istilah “tuan rumah” bagi masyarakat serta “tamu” bagi corporate telah menciptakan situasi dan kondisi dimana masyarakat sebagai “tuan rumah” merasa hanya menjadi penonton belaka atas eksploitasi sumber daya alam yang “dimilikinya” dan menganggap wajar dan harus memperlakukan corporate sebagai “sapi perahannya”.
  2. dari pernyataan pada point ke- satu, maka dapatlah kiranya disimpulkan bahwa proses adaptasi masyarakat dengan coporate dan corporate dengan masyarakat lokal mengalami (maaf!) kegagalan dan tidak adanya jalinan komunikasi yang solid sehingga sangat mudah terjadi ketegangan antara kedua belah pihak.
  3. pemerintah daerah tidak mampu memposisikan dirinya sebagai corong bagi masyarakat kepada perusahaan dan corong perusahaan bagi masyarakatnya. Uniknya, pemerintah daerah justru “mensejajarkan dirinya” dengan masyarakat melalui tuntutan-tuntutan yang bersifat materil.
  4. Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) CGI melalui CDLBD, tidak diartikan oleh masyarakat sebagai suatu upaya atau niat baik perusahaan terhadap masyarakat lokal untuk maju secara bersama-sama. Intervensi pemerintah daerah terhadap CDLBDCSR itu sendiri, dimana idealnya dana CDLBD harus menjadi semacam Value edit bagi peningkatan derajat hidup masyarakat namun justru dijadikan dana tambahan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan. telah mengaburkan konsep dan tujuan

III. SARAN UNTUK PEMECAHAN MASALAH

Penulis merasa tidak mempunyai kompetensi untuk memberikan saran atau usulan dalam menghadapi permasalahan yang ada secara ilmiah, namun setidaknya apa yang penulis dengar dan rasakan sebagai bagian dari komunitas lokal, setidaknya ada beberapa teori hasil observasi dan wawancara yang dapat dicoba untuk dilaksanakan, yaitu :

  1. Re-identifikasi dan inventarisasi tokoh masyarakat lokal; dari pengalaman penulis menjadi bagian dari team Community relations pada perusahaan sub contractor CGI dapat dikatakan bahwa selama ini corporate kurang tepat “memilih” tokoh-tokoh masyarakat di kecamatan Pasirwangi. Meng-identifikasi ulang tokoh masyarakat di Pasirwangi sangat penting dilakukan dan inventarisasi tokoh masyarakat di kecamatan Samarang serta Sukaresmi. Hal ini akan berguna sebagai langkah awal membangun komunikasi yang sehat dengan komunitas lokal.
  2. Mendirikan Lembaga “tink tank” corporate, yang dimaksud dengan lembaga tink tank disini adalah sebuah lembaga yang didirikan atau diciptakan oleh corporate sebagai lembaga penyerap informasi sekaligus sebagai lembaga pemecah masalah yang terjadi antara masyarakat dengan corporate. Secara teknis, lembaga ini tidak mesti masuk dalam struktur manajemen corporate (kalau memungkinkan lebih baik) namun cukup difasilitasi oleh corporate dan bersifat non profit. Adapun yang menjadi anggota dari lembaga ini adalah para tokoh masyarakat dari 3 Kecamatan yang dipilih secara selektif dan ketat. Dengan didirikannya lembaga ini, setidaknya ada beberapa manfaat yang dapat diraih oleh corporate, yaitu :

2.1 melalui lembaga ini superioritas masyarakat di kecamatan Pasirwangi sedikitnya akan teredam karena bagaimanapun juga disana ada wakil dari masyarakat lainnya, atau lebih tepatnya lagi sebagai balancing power. Hal ini cukup efektif berdasarkan pengalaman penulis ketika menjadi team comunity relation PT. Thiess dimana sering terlibat dalam penyelesaian masalah dengan masyarakat di Kecamatan Pasirwangi. Penulis sering memberikan masukan kepada masyarakat di Pasirwangi tentang dampak dari tuntutannya terhadap masyarakat di kecamatan lainnya.

2.2 Campur tangan atau intervensi dari pihak luar (provokator) dapat dengan segera dideteksi dan dinetralisir.

2.3 Lembaga ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur atas sikap masyarakat terhadap corporate, dimana apabila lembaga ini dapat diterima oleh masyarakat maka dapat dipastikan “lisensi sosial” akan diraih oleh corporate.

  1. Membangun Komunikasi; membangun komunikasi yang sehat dan solid mutlak diperlukan. Melalui komunikasi yang baik dengan tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki visi dan misi yang sepaham dan diarahkan kepada pembangunan citra corporate akan semakin memantapkan upaya harmonisasi hubungan corporate dengan komunitas lokal.
  2. Pengembangan konsep dan strategy CSR (CDLBD); konsep dan strategy CDLBD seyogianya terus dikembangkan sampai ditemukan formulasi yang tepat sesuai dengan maksud dan tujuan CSR itu sendiri. Satu hal yang perlu dicermati adalah, kebijakan pelaksanaan CSR tersebut hendaknya tetap menjadi “hak prerogatif” manajemen corporate dan tidak mengikuti intervensi dari pihak-pihak luar termasuk pemerintah daerah.

Demikian analisis-analisis sederhana tentang situasi dan kondisi masyarakat lokal serta tinjauan kritis mengenai implementasi Corporate Social Responsibility CGI. Meski dengan berbagai keterbatasan pemikiran, namun penulis berharap sumbangan pemikiran ini dapat memberikan manfaat bagi upaya harmonisasi hubungan corporate dengan komunitas lokal.

Garut, 26 Pebruary 2007

Riwayat Aktifitas Penulis :

  1. Mantan Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kec. Samarang
  2. mantan Ketua Ikatan Remaja Masjid Kecamatan Samarang
  3. Pengurus Pemuda Pelopor Kabupaten Garut
  4. Pengurus Cabang Pemuda Muslimin Indonesia Kabupaten Garut
  5. Sekretaris Kelompok Masyarakat Peduli (Kemali) Garut
  6. Anggota Forum Diskusi The Yamin Centre, Central Strategic for Community Development
  7. Peraih penghargaan Bupati Garut sebagai “Pemuda Pelopor Kabupaten Garut Tahun 2003”
  8. Pernah bekerja pada PT. Thiess Contractors Indonesia sebagai Community Relations officer

Tidak ada komentar: